WELCOME

KENDARI SOUTH EAST SULAWESI INDONESIA

Laman


Sabtu, 22 Oktober 2011

Matahari Tenggelam di Tomea




Matahari merah bulat menggantung di perairan Waha. Kapal-kapal kayu yang masih berlayar pun mulai tampak seperti bayang-bayang hitam. Sebentuk wajah Pulau Tomea di saat senja mengantarkan malam.

Pemandangan rupawan seperti itu membuat puluhan orang yang masih berada di dermaga Pelabuhan Waha—kebanyakan pelancong dari Jakarta—malas untuk beranjak pulang. Mereka ingin menyaksikan detik demi detik perjalanan pulang sang mentari menuju ujung cakrawala.

Ini memang senja yang sempurna. Matahari tampil telanjang bulat tanpa helai-helai awan yang menutupinya. Ketika mentari benar-benar menghilang, orang-orang menikmati jejak-jejaknya berupa semburat merah di langit yang menghitam.

Suasana romantis itu berlangsung sekitar 30 menit. Setelah itu, siang berganti malam. Dan, seperti mentari, bulan di malam itu tampil sempurna: bulat dan merah. Malam itu adalah malam ke-15 dalam sistem penanggalan berdasarkan bulan. Masa ketika purnama jatuh dan membagikan sinarnya.

Di Tomea yang hampir tiap malam gelap gulita lantaran listrik sering mati, sinar purnama adalah sebuah hiburan. Setidaknya, orang tidak perlu menggunakan senter ketika melewati jalan-jalan gelap.

Begitulah sepenggal suasana di Tomea, gugusan pulau kecil yang membentuk Kabupaten Wakatobi—kependekatan dari Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko—yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kabupaten yang ditetapkan sebagai taman nasional itu tersohor sebagai surga lokasi penyelaman di samping Bunaken, Sulawesi Utara; dan Raja Ampat, Papua. Di perairan taman nasional itu, menurut situs dephut.go.id, terdapat 25 gugusan terumbu karang, 112 jenis karang dari 13 famili, dan 93 jenis ikan.

Namun, keindahan Wakatobi tidak hanya ada di dalam air, melainkan juga di daratan. Salah satunya ada di Bukit Tomea di Desa Kahyanga, Pulau Tomea. Puncak bukit itu adalah padang savana hijau nan luas. ”Di musim kering, savana ini berwarna coklat kemerahan,” ujar Saharuddin, penduduk Tomea.

Di puncak Bukit Tomea, kita juga bisa menemukan fosil kima raksasa dan gugusan batu karang yang bertebaran di mana-mana. Kemungkinan, puncak bukit ini dulunya adalah dasar laut.

Kami duduk di atas fosil batu karang memandang Laut Flores yang berwarna biru gelap. Dari situ, kami menikmati pemandangan matahari tenggelam nan romantis sambil menikmati kasuami dan ikan parende goreng, makanan khas di Wakatobi.

Kasuami adalah singkong yang diparut kemudian dikukus. Ini adalah makanan pokok masyarakat Wakatobi selain nasi.

Ketika hari mulai gelap, kami kembali ke penginapan dan melewati malam di Tomea yang tenang. Debur ombak dan suara angin terdengar lamat-lamat seperti orkestra alam.

Lumba-lumba

Bagaimana menjangkau Tomea? Dari Jakarta naik pesawat menuju Makassar dan melanjutkan penerbangan ke Pulau Wangi-Wangi, ibu kota Kabupaten Wakatobi. Di Wangi-Wangi, kita harus menginap satu hari di hotel atau penginapan untuk menunggu kapal cepat ke Tomea esok harinya.

Kapal tersebut berangkat pukul 10.00 dari pelabuhan di Wanci yang berada di tengah permukiman suku Bajau. Tiket dibanderol Rp 100.000.

Perjalanan berlangsung dua-tiga jam mengarungi Laut Banda. Jika beruntung, Anda akan menemukan sekawanan lumba-lumba sedang bermain-main di laut. Di musim-musim tertentu, bahkan, Anda bisa melihat paus.

Kapal tersebut tiba di Pelabuhan Usuku pada tengah hari. Kadang, kapal merapat di Pelabuhan Waha. Di pelabuhan, rombongan pengojek dan sopir taksi (angkot) menyambut kedatangan kami. Selain itu, ada beberapa perempuan yang menawarkan kain tenun khas Tomea yang berwarna terang.

Dari pelabuhan, kami langsung menuju Pantai Teetimu di Desa Kulati. Pantai berpasir putih bersih itu tersembunyi di antara lembah-lembah bukit karang. Suasananya agak sepi. Hanya ada anak-anak yang berenang di pantai berombak tenang itu dan beberapa nelayan yang sedang mencari ikan karang dan kima.

Mereka bilang, laut itu kulkas raksasa. Jika mereka lapar, mereka tinggal pergi ke laut untuk menyomot beberapa hewan yang ada di pantai dan menyantapnya saat itu juga.

”Begini cara memakannya,” kata seorang bocah sambil mengeluarkan daging kima dari cangkangnya. Kemudian memerasnya dan melahapnya mentah-mentah. Kami mencobanya. Ternyata enak juga....

Di sekitar Desa Kulati, ada beberapa pantai lainnya yang tidak kalah cantik. Nyiur melambai, pasir putih bersih, karang coklat muda, laut biru toska, dan angin yang terasa segar menyergap kita ketika tiba di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar